oleh

Perempuan Lintas Agama, Ikut Pelatihan Kekerasan Berbasis Gender

-Humaniora-55 Dilihat

KUPANG, Terasntt.com — Sebanyak 30 orang perempuan lintas agama Kota Kupang mengikuti pelatihan konseling kekerasan berbasis gender. Kegiatan tersebut merupakan hasil kerjasama Lembaga Rumah Perempuan Kupang dengan AFSC di Kupang, Selasa (10/11/2015).
Pelatihan tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, dianataranya, Pdt. Ina Bara Pa, Balkis Soraya ,Pdt. Emy Sahertian, Dedy Manafe, Bertha Hangge dan Yuliana Ratu.

Dalam kesempatan itu, Derektris lembaga Rumah Perempuan Kupang,Libby Ratuarat-Sinlaeloe, mengatakan, tujuan dari pelatihan konseling bagi perempuan lintas agama untuk meningkatkan dan pengetahuan pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan.

Serta meningkatkan ketrampilan peserta untuk melakukan pendampingan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dan kasus toleransi.

Menurutnya kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang paling banyak terjadi akibat ketimpangan relasi kekuasaan anatara laki-laki dan perempuaan.
Data pendampingan Rumah Perempuan Kupang menunjukan bahawa, sejak 2000 – 2010 sebanyak 1.405 kasus kekerasan berbasis gender.

“Faktor kekerasan yang terjadi dilatarbelangi oleh sistem patraiki yang kental yang terinternalisasi didalam nya norma dan aturan yang ada di tengah masyarakat. Akibat dari kekerasan tersebut, maka lahirlah diskriminasi hingga akhirnya menyebabkan perempuan dan anak terhambat untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negera,” tegasnya.

Menurut Libby, dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender ini tentunya membutuhkan peran aktif dan keterlibatan semua unsur yang ada ditengah masyarakat, terutama kelompok perempuan lintas agama. Karena unsusr-unsur yang ada ditengah masyarakat merupakan tokoh kunci, sekagus orang terdekat korban yang dapat melakukan upaya pencegahan dan pendampingan bagi korban jika mengalami kekerasan.

Sementara Dedy Menafe dalam metarinya soal perlindungan hukum bagi perempuan dan anak mengatakan, segi kebijakan adalah aparatur negara mengoperasi jawaban negara atas amanat penderitaan rakyat, negara mempunyai tiga tahap kebijakan yang harus dilakukan, yakn regulasi, proses politik yang menghasilkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), juga implementasi, dilakukan melalui proses administrasi pemerintahan, hasilnya program dan kegiatan, serta evaluasi melalui proses pengawasan, hasilnya derajat kesesuaian antara regulasi dan implementasi..

Untuk Itu, lanjut Manafe, perlindungan perempuan dan anak, secara kebijakan sudah harus dirumuskan dalam regulasi, yakni KUHP untuk perempuan pada umumnya, UUPA untuk anak (laki-laki dan perempuan), UU PKDRT untuk perempuan dan anak dalam lingkup rumahtangga, dan UU PTPPO untuk perempuan dan anak dalam reasi kuasa dengan pelaku, UU Pornografi bagi perempuan dan anak yang dieksploitasi untuk pornografi, serta UU ITE untuk perempuan dan anak dalam transaksi elektronik yang ekploitatif.

Sedangkan, Balkis Soraya Tanof soal sharing pengalaman hidup perempuan kemajemukan, mengatakan, persoalan terjadinya kekerasan terhadap perempuan berbasis gender tidak pernah berkurang, tetapi terus bertambah sesuai data rumah perempuan dan juga adanya kekerasan yang diakibatkan oleh isu-isu agama, dimana aktifis perempuan untuk menyuarakan persoalan kekerasan yang menimpah perempuan saat ini.

“Memang kekerasan sering terjadi terhadap perempuan dikarenakan faktor kemiskinan , wawasan , dan pendidikan, sehingga menyebabkan posisi tawar perempuan sangat rendah. Namun hal ini menjadi peran perempuan lintas agama untuk bisa bersama-sama bergandeng tangan untuk bisa menyuarakan kedamaian, karena permpuan memiliki kasih sayang dari hati kehati dari perempuan untuk perempuan untuk Indonesia terlebih khususnya daerah ini,” katanya.(rif)

Komentar