Kupang, Terasntt.com – Seorang Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana), Prof. Dr. Felysianus Sanga, yang saat ini sedang meneliti 22 makna ciuman hidung masyarakat Sabu Raijua, NTT, mengungkapkan dasar filosofis di balik budaya cium hidung tersebut.
“Cara ciuman ini, teknisnya, masyarakat Sabu Raijua meniru dari semut merah,” ungkap Felysianus di kediamannya, Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Jumat (13/7/2018).
Dirinya menjelaskan, masyarakat Sabu Raijua rupanya meniru cara hidup semut merah, dan menjadikannya sebagai simbol persahabatan.
“Kita bisa melihat tingkah laku semut merah jika mereka saling bertemu. Kalau mereka berjalan beriringan, hal yang ditiruh masyarakat Sabu Raijua itu tidak akan terjadi. Tapi kalau mereka (semut merah – red) bertemu, mereka akan berhenti sejenak, lalu saling menyentuh belalai,” ujarnya.
Semut-semut itu, lanjutnya, akan mengangkat kedua tangan, menaruhnya di pundak semut yang lain. “Kemudian belalai mereka yang paling pendek akan saling bersentuhan. Itu menandakan persahabatan,” katanya.
Pendiri Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia di Undana itu menambahkan, ciuman hidung yang dilakukan masyarakat Sabu Raijua mengandung banyak makna.
“Ada ciuman yang bermakna meminta bantuan tenaga atau material. Ada juga jenis ciuman hidung yang bermakna meminta bantuan berupa pendapat. Untuk orang-orang kampung, ini memiliki nilai filsafat yang sangat tinggi,” terangnya.
Warisan Yang Harus Dipertahankan
Makna 22 ciuman hidung ini, sudah lama direnungkan oleh Felysianus. Sebelum turun melakukan penelitian, bahan-bahan awal telah dikumpulkannya, dengan menanyai orang-orang Sabu Raijua yang berada di Kota Kupang.
“Sewaktu saya turun melakukan penelitian, masyarakat Sabu Raijua yang saya jumpai mengaku heran. Mereka mengatakan selama ini belum ada peneliti yang meneliti makna ciuman hidung ini,” kisahnya.
Sebagai guru besar dan budayawan, niatnya sangat besar untuk terus melakukan penelitian menggali warisan-warisan adat istiadat yang kian hari kian terlupakan.
“Warisan-warisan adat peradaban seperti ini, harus kita gali kembali, agar bisa dikisahkan kepada anak cucu kita. Tanpa melakukan penelitian dan penggalian lebih dalam, warisan-warisan adat istiadat kita akan hilang perlahan-lahan,” imbuhnya. (rafael l pura)
Komentar