Kupang, Terasntt.com – Acara Bedah dan Peluncuran Buku Antologi Cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan karya Kopong Bunga Lamawuran digelar di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang, Kota Kupang, Sabtu (25/8/2018).
Acara ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Marianus Kleden (Dosen dan Penulis), Marsel Robot (Sastrawan dan Dosen), dan Gusti Fahik (Penulis).
Menurut Gusti Fahik, ada kesamaan antara Antologi Cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan karya Kopong Bunga Lamawuran dengan karya-karya yang telah dihasilkan penulis novel terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
“Kopong Bunga dan Pramoedya, kalau mau dicari kesamaan, mereka sama-sama menganut aliran realisme sosial. Bahwa yang mereka tulis adalah persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kita,” ujar Gusti.
Tetapi, lanjutnya, ada banyak hal yang dimiliki dan dialami Pramoedya Ananta Toer, sehingga menjadikannya sebagai novelis terbesar Indonesia.
“Karya-karya Pramoedya sangat kaya. Semangat perjuangan yang diusung dalam karyanya pun sangat tinggi. Ini bisa terjadi karena dia ditempah oleh situasi yang terjadi, dan pengalaman yang dialaminya. Dalam konteks gaya kepenulisan, tentu ada kesamaan antara Kopong Bunga Lamawuran dengan Pramoedya,” sambungnya.
Selain membicarakan kesamaan antara Pramoedya Ananta Toer dengan Kopong Bunga Lamawuran, Gusti juga menunjukkan kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan ini.
Sementara itu, menurut Marianus Kleden, karya-karya sastra yang dihasilkan para pengarang bisa mengubah ‘dunia’.
“Dalam beberapa kasus, karya sastra dapat mengubah sosial. Kritik-kritik yang disampaikan pengarang lewat karya mereka, bisa mengubah dan memengaruhi kebijakan yang diambil pemerintah. Dan antologi cerpen ini, adalah upaya kritik dari penulis terhadap Gereja sebagai institusi,” ujarnya.
“Gereja yang digambarkan dalam antologi cerpen ini, telah menekan kelompok miskin. Para pejabat Gereja menyembunyikan dosa dalam kesucian jubah. Dalam antologi ini juga, penulis memberikan kritikan terhadap sekolah dan universitas, yang outputnya memperparah barisan pengangguran,” imbuhnya.
Marsel Robot, sastrawan dan dosen pada Universitas Nusa Cendana Kupang, mengatakan bahwa penulis antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan ini sangat irit kata. Dia berharap agar segala kritikan bisa diterima pengarang dengan lapang dada.
“Orang yang bersastra itu hidup dalam kerumunan kritik, sebab kritikan itu merupakan humus. Dan saya hanya bisa membedah satu karya cerpen dari ke-13 cerpen dalam antologi ini,” ujar Marsel.
Dalam cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan, akunya, ada hal-hal fatal yang seharusnya tidak dilakukan pengarang.
“Pengarang tidak mengambil jarak dari cerita, sehingga orang bisa menebak bahwa penulis ikut terlibat dalam cerita ini. Tetapi, ada perubahan yang sangat besar dalam karya ini, jika dibanding beberapa karya sebelumnya yang telah dihasilkan pengarang. Ini merupakan modal yang sangat baik dalam bersastra,” ujarnya.
Antologi Cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan merupakan karya ke-tiga Kopong Bunga Lamawuran. Karya sebelumnya yang dihasilkan adalah novel Rumah Lipatan (Literat, 2012), dan Ilalang Tanah Gersang (Lima Bintang, 2015). (rafael l pura)
Komentar