KUPANG, Terasntt.com — Anak merupakan generasi penerus dan aset bangsa yang memiliki hak istimewa. Mereka harus dilindungi oleh semua pihak agar tumbu dan berkembang menjadi manusia cerdas.
Pemahaman inilah yang mendorong Compassion East Region menyelenggarakan Workshop perlindungan anak selama tiga hari sejak di Hotel Silvia, Kupang, Senin (7/3/2016).
Demikian dikatakan ketua panitia Pdt.Jefrry Djamal Djenal,S.Th ketika ditemui di sela – sela kegiatan di Hotel Silvia, Selasa (8/3/2016).
Menurutnya, kegiatan workshop itu sangat penting untuk membangun langkah strategis dalam rangka membangun koordinasi masalah kekerasan terhadap anak di empat tempat koordinasi pelayanan Program Pengembangan Anak (PPA) atau di empat Cluster Region East yakni Bali, Sumba, Soe dan Kupang yang dikuti 68 cluster dari 68 gereja dan melibatkan 127 orang peserta.
” Anak itu sangat istimewa sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak. Kami mengadakan workshop ini guna memberikan langkah strategis dalam membangun koordinasi untuk mengetahui masalah kekerasan terhadap anak di empat cluster yang ada,” katanya.
Sementara Arientje Komile perwakilan Kementrian Hukum dan HAM NTT dalam materinya mengatakan, anak perlu dilindungi karena anak adalah aset bangsa dan pemilik masa depan.
Menurutnya peran Kementerian Hukum dan HAM dalam perlindungan anak sesuai UU Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak (SPPA). Dan juga latar belakang lahirnya UU ini karena pandangan anak sebagai aset bangsa dan dalam tujuan pembangunan nasional anak adalah pemilik masa depan bangsa sehingga disesuaikan dengan konvensi hak anak.
Komile mengatakan, UU Nomor 11 tahun 2012 merupakan perubahan dari UU Nomor 3 tahun 1997 yang saat itu bernama pengadilan anak dan hal ini sangat penting sehingga pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Kemenkumham, masyarakat, pemerintah dan gereja merupakan satu sistem yang utuh untuk memperjuangkan hak anak dan memberikan perlindungan terhadap anak aga turut mengambil sebuah kesepakatan bersama.
” UU Nomor 11 tahun 2012 yang intinya mengatur sistem peradilan pidana anak yang merupakan perubahan UU Nomor 3 tahun 1997, tentang pengadilan anak, substansinya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak,sehingga menjadi jelas bagi kita baik itu polisi, jaksa, hakim, kemenkumham, masyarakat, pemda dan gereja kita wajib membangun kesepakatan bersama,” katanya.
Sementara Direskrim Umum Polda NTT, AKP Bertha Hangge, menegaskan inti dari aturan hukum yang terdapat dalam UU Nomor 11 tahun 2012 adalah anak sebagai pelaku kekerasan yang usianya 12 – 18 tahun untuk itu diberikan penelaan tersendiri agar penerapannya tepat sasaran, sedangkan untuk anak di bawah masih dalam kandungan – 12 tahun dikategorikan anak korban kekerasan sesuai UU Nomor 35 tahun 2014.
Ia menegaskan ada proses perkara yang dikenakan diversi apabila anak dibawah umur, pihak pengadilan mengalihkan perkara dari dalam pengadilan ke luar pengadilan/diversi jika kasus tersebut terhadap anak yang masih dibawah umur dan itu sah dimata hukum.
” Anak dikatakan pelaku kekerasan apabila usia 12 – 18 tahun sesuai UU Nomor 11 tahun 2012. Anak dikatakan sebagai korban kekerasan jika anak dibawah umur 12 tahun hingga dalam kandungan sesuai UU Nomor 35 tahun 2014. Namun dalam proses perkara yang melibatkan anak dibawah umur maka hukum mengatur diversi agar penyelesaiannya diatur secara bersama oleh pihak polisi dan keluarga,” tegasnya. (man)
Komentar